PADANG, - Aliansi Mentawai Bersatu (AMB) meminta DPR RI merevisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Mereka menilai UU yang telah ditandatagani Presiden Jokowi itu diskriminatif terhadap masyarakat Kabupaten Kepualauan Mentawai.
Ketua Aliansi Mentawai Bersatu, Yosafat Saumanuk mengatakan, jika undang-undang itu tidak direvisi, maka Mentawai akan keluar dari Provinsi Sumbar.
"Jika UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Sumatera Barat ini tidak direvisi, kami atas nama Aliansi Mentawai Bersatu akan bergabung dengan provinsi lain yang bisa mengakui kebudayaan Mentawai, " ujarnya, Selasa (16/8/2022).
Yosafat menegaskan, pihaknya tidak menolak Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dalam UU itu, hanya meminta bunyi kalimat yang menyatakan budaya Mentawai itu ada dan merupakan bagian dari Sumatera Barat.
"Kita tidak mempermasalahkan ABS-SBK, kita hanya meminta bunyi pasal atau penambahan pasal yang mengakui secara jelas tentang kebudayaan Mentawai, " katanya.
Pihaknya menyorot pasal 5c, yaitu Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatra Barat.
Diketahui, perwakilan masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai yang tergabung dalam Aliansi Mentawai Bersatu telah menggelar aksi demonstrasi menolak Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar yang dinilai belum mengakomodir kebudayaan Mentawai di depan Kantor Gubernur Sumatra Barat pada Selasa, (9/8/2022) kemarin.
Sementara itu, Gubernur Sumbar Mahyeldi mengatakan, di dalam UU tersebut sudah jelas bahwa Sumbar ada 19 kabupaten kota termasuk Mentawai di dalamnya dan mengatakan ada peluang untuk direvisi.
"Saya kira perihal merivisi memang ada peluang, kalau mau direvisi ke MK. Itu urusan pusat kan Undang-Undang. Saya kira sebaiknya dibaca lebih utuh. Jangan dipahami sebagian saja, " ujarnya.
Mahyeldi juga mengimbau para pengamat untuk jangan mengamati sebagian saja, tetapi jelaskan secara komprehensif dan semua penafsiran jangan satu ayat atau setengah ayat.
"Nanti seperti orang melihat gajah. Beda-beda jadinya, yang melihat kaki gajah, atau telinga gajah, atau belalainya. Mari kita cerdaskan masyarakat kita dengan analisa dan pemikiran. Ini tugas intelektual menjelaskan itu semua, " pungkasnya.(**)